Pages - Menu

Friday, January 6, 2012

Gita, Saya dan Nasi

Membaca rubrik wawancara di Majalah Tempo edisi minggu ini, sungguh luar biasa. Tempo menurunkan wawancaranya bersama seorang menteri hasil reshuffle kabinet Indonesia Bersatu II  Oktober 2011. Dialah Gita Wirjayan, sang Menteri Perdagangan yang baru menggantikan Marie Elka Pangestu yang diorbitkan menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Publik saat itu agak terkejut dengan munculnya nama Gita, meski dia bukan orang baru dalam dunia usaha. Karir dan usahanya cukup mengangkat namanya, terutama saat ia menjadi Direktur Utama di JP Morgan (2006). Dua tahun kemudian ia keluar dari perusahaan yang bergerak di bidang finansial itu dan mendirikan Ancora Capital. Sepertinya istana tertarik dengan sepak terjang dan mengangkatnya menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2009.

Saya tertarik dengan pria yang mengecap pendidikan di Harvard University ini bukan karena loncatan karirnya yang luar biasa. Komentar-komentarnya di media cetak dan elektronik cukup menghentak. Yang terbaru misalnya di Tempo, ia berkata, ”Jika hari ini 240 juta orang Indonesia mulai mengganti akan malamnya dengan singkong, hari ini juga kita beralih dari pengimpor menjadi pengekspor beras”. Menurutnya pola makan malam dan pagi tanpa nasi sudah dipraktikkannya sejak lama. Ia menggantinya dengan makan ubi dan singkong! Dear Minister, are you kidding me?

Saya belum mau mempercayai ucapannya. Gampang saja bagi seorang Menteri tak menyantap nasi di kala pagi dan malam. Namun menggantinya dengan ubi dan singkong, kok sepertinya nggak mungkin. Lebih masuk akal kalau sarapan dengan sereal gandum atau roti dan malam makan salad buah atau steak. Ah, tapi kali ini saya tak hendak membahas menu makanan menteri. Lebih elok jika membahas apa yang dimakan oleh rakyat banyak.

Bagi saya pribadi nasi menjadi menu yang istimewa. Keluarga saya terbiasa menikmatinya tiga kali sehari. Nasi cukup fleksibel karena bisa dikombinasikan dengan menu apapun, sayur, ikan, daging, dan telur. Kalau tak ada apapun masih bisa di sajikan dengan garam dan minyak jelantah.
   
Beras sudah dikonsumsi oleh rakyat Indonesia sejak berpuluh abad yang lalu. Nenek moyang kita yang berasal dari Yunan atau Hindia Belakang membawa benih padi dan menanamnya dan kemudian dibudidayakan turun-temurun hingga kini. Lidah kita pun cukup familiar dengan nasi. Nasi kita jadikan makanan pokok untuk mengisi kebutuhan karbohidrat kita. Pagi, siang dan malam hampir setiap orang Indonesia dan setengah penduduk bumi memerlukan hidangan nasi di meja makannya.

Begitulah, beras menjadi komoditas yang paling dicari. Negeri-negeri penghasil beras berusaha meningkatkan hasilnya dengan menggunakan berbagai cara. Segala macam penelitian dilakukan untuk meningkatkan hasil si butir putih ini. Bahkan dengan cara-cara aneh dengan mencampurkan beragam gen yang benihnya sering disebut transgenik. 

Kalau kemudian Pak Menteri meminta kita untuk mengganti nasi dengan menu yang lain terutama ubi dan singkong, saya kira ada 11 yang akan menolak dari 10 orang. Kenapa 11? Karena ada satu orang yang mengangkat dua tangannya untuk menunjukkan penolakannya. Hehehe… hanya bercanda. Tapi begitulah faktanya, sulit menukar kebiasaan yang sudah tertanam di otak dan hati.

Seandainya Pak Menteri sempat menyaksikan televisi sesekali maka akan jelas bahwa banyak penduduk di Indonesia mengkonsumsi selain nasi sebagai makanan utamanya. Bukan karena mereka dengan sengaja dan sukarela mengikuti wejangan para pejabat pemerintahan, namun karena tak sanggup membeli beras. Lebih murah makan tiwul, jagung, nasi aking dan sebagainya. Seharusnya masyarakat ini yang menjadi perhatian lebih.

Pak Menteri,  andai saja Anda tahu nasi itu bukan cuma pengisi perut. Rice is life, culture, and dignity. Pada nasi ada alur kehidupan, budaya dan martabat. Seharusnya sebagai bangsa yang besar kita harus meneruskan alur kehidupan, mempertahankan budaya dan berusaha memperjuangkan martabat kita. Nasi mengandung sejuta makna, dari proses prokduksi, distribusi, sampai konsumsi. Memproduksinya akan menimbulkan harmonisasi, interaksi dan toleransi. Ada peran begitu banyak pihak untuk mengantarkan sampai ke konsumen. Pada saat menyantapnya ada kehangatan dan keakraban.

Sesungguhnya mengganti nasi dengan makanan lain seperti mengganti budaya. Ekstrimnya lagi seperti berpindah agama. Saya tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Entah dengan Anda, Pak Menteri!

Januari, 2012

2 comments:

  1. Makanan pokok rakyat Indonesia hendaknya tidak diatur, biarkan saudara-saudara kita dari daerah lain tidak makan nasi tidak apa-apa, malah bagus supaya kita jangan kekurangan beras. lagi pula suku-suku tertentu di Indonesia tidak suka dengan nasi karena tidak terbiasa dari kecil. Ini kesalahan masa lalu saat pemerintah Indonesia meminta seluruh rakyat Indonesia makan nasi, ini kebijakan yang tidak bijak. Tidak semua harus diatur, biarkan saja kepada keinginan masing-masing.

    ReplyDelete
  2. Pak Mentri ini rupanya ingin menjadi Sinterclas dalam kehidupan masyarakat indonesia. dia ingin merobah makanan pokok Masyarakat indonesia yang pada umumnya makan nasi untuk memakan singkong. pada undang-undang sendiri tidak pernah mengatur tentang makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. padahal telah berabad-abad mulai dari nenek moyang kita nasi menjadi makan utama bagi masyarakat indonesia, maka dari sinilah disebut bahwa nasi bukan hanya sebagai bahan pengisi perut jika lapar, tapi melainkan alur sebuah kehidupan bagi masyarakat ini.

    sangat konyol jadinya jika seorang mentri mengatakan seperti itu, bagaikan dia tidak pernah tahu soal sejarah dan budaya masyarakat indonesia selama ini, dimana nasi merupakan makanan pokok bagi kehidupannya.

    ReplyDelete